.

.
Bismillah ..., Kami Ingin Berbagi Faedah Ilmu Syar'i, MENEBAR SUNNAH & Merajut Ukhuwah di Atas Manhaj Salaf Dalam Meniti Al Haq

Menyentuh Kemaluan Anak Kecil Membatalkan Wudhu?

http://assalafiyyat.blogspot.co.id

Tanya:
Apakah menyentuh aurat anak kecil membatalkan wudhu? Bolehkah perempuan yang haid masuk ke masjid untuk mendengarkan pelajaran? Di rekaman, pertanyaan ini tidak ada. Judulnya هل لمس عورة الطفل ينقض الوضوء؟ وما هي أقصى مدة للنفاس؟ (Kami tidak mendapatkan yang berbentuk tulisan.) Di jawaban pun masalah ini tidak disinggung. Berapakah waktu nifas terlama?
Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Maqshud:
Dalam hadits Busrah bintu Shafwan j yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ash-habus Sunan (para penyusun kitab-kitabas-Sunan-ed.) dengan sanad yang shahih, disebutkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلَا يُصَلِّ حَتَّى
“Barang siapa menyentuh kemaluannya, janganlah dia shalat sebelum berwudhu.
Ini adalah dalil bahwa menyentuh zakar merupakan pembatal wudhu. Maka dari itu, disunnahkan bagi perempuan untuk berwudhu apabila dia menyentuh kemaluannya.
Disebutkan dalam hadits Ummu Habibah j, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang shahih, Nabi ` bersabda,
مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barang siapa menyentuh farj-nya hendaknya dia berwudhu.”
Telah saya sebutkan bahwa secara bahasa, al-farj mencakup qubul dan dubur. Dengan demikian, hadits Ummu Habibah mencakup lelaki dan perempuan. Lebih-lebih, telah tsabit dalam Musnad al-Imam Ahmad dengan sanad yang hasan, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, yaitu ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash , bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ، وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ مَسَّتْ فَرْجَهَا فَلْتَتَوَضَّأْ
“Lelaki mana pun yang menyentuh kemaluannya hendaknya berwudhu, dan perempuan mana pun yang menyentuh kemaluannya hendaknya berwudhu.”
Ini mencakup lelaki dan perempuan, serta qubul dan dubur.
Dari sini, al-Imam Ahmad, asy-Syafi’i, dan Malik berpendapat bahwa apabila seseorang menyentuh kemaluannya, dia wajib berwudhu pada hal-hal yang disyaratkan padanya berwudhu, seperti shalat, thawaf di Ka’bah, dan menyentuh mushaf.
Al-Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perintah dalam hadits-hadits ini menunjukkan hukum mustahab (sunnah). Sebab, telah tsabit dalam riwayat Ahmad dan Ash-habus Sunan dengan sanad yang shahih, dari Thalq bin ‘Ali a, dia berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, “Salah seorang dari kami memegang kemaluannya. Apakah dia perlu berwudhu untuk shalat?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab,
إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ
“Hanya saja kemaluanmu itu bagian darimu.”
Dalam lafadz lain,
وَهَلْ هُوَ إِلَّا بَضْعَةٌ مِنْكَ
“Tidaklah dia (kemaluanmu) melainkan bagian darimu.
Maksudnya, kemaluanmu adalah salah satu bagian tubuhmu.
Tentu, hadits-hadits pertama tadi bertolak belakang dengan hadits Thalq bin ‘Ali secara zahir. Sementara itu, yang telah ditetapkan dalam (ilmu) ushul, apabila dua nash bertolak belakang secara zahir, wajib dikompromikan terlebih dahulu. Apabila kita tidak mampu mengompromikannya, dilakukan naskh (penghapusan hukum dari hadits yang terjadi lebih dahulu, -ed.) apabila diketahui kronologinya.
Adapun di sini, bisa dilakukan kompromi. Dikatakan oleh Abu Hanifah, sabda beliau, “Tidaklah dia (kemaluanmu) melainkan bagian darimu” menunjukkan bahwa perintah berwudhu adalah perintah mustahab, sedangkan larangan shalat sebelum berwudhu bagi orang yang memegang kemaluannya tanpa pembatas adalah larangan lit tanzih(menunjukkan hukum makruh, bukan haram). Dengan demikian, terjadilah penggabungan di antara dalil-dalil. Inilah yang rajih (kuat) menurut saya.
Akan tetapi, dalam masalah ini ada pembahasan yang panjang. Di antara para ulama ada yang berpendapat naskh(dihapusnya hukum ini), seperti Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad. Namun, beliau menempuh metode naskh dengan beberapa hal yang tidak ditetapkan oleh ulama ushul sebagai naskh.
Ketika kita katakan, “Thalq bin ‘Ali lebih dahulu masuk Islam daripada Busrah bintu Shafwan”, apakah hal ini bermakna bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Busrah terjadi setelah hadits Thalq? Tidak! Bisa jadi, hadits tersebut termasukmursal shahabi (Busrah mendapatkan hadits itu dari sahabat yang lain, tetapi dia tidak menyebutkan nama sahabat tersebut dan langsung menisbahkan haditsnya kepada Nabi, –pent.).
Thalq bin ‘Ali lebih tahu daripada kita kapan dia membawakan hadits ini. Kesimpulannya, tidak perlu kita menoleh kepada naskh atau tarjih (penguatan salah satu hadits) selama masih bisa dilakukan penggabungan (kompromi).
Al-Imam Ahmad, Malik, dan asy-Syafi’i berpendapat bahwa apabila seseorang menyentuh kemaluannya, hendaknya dia berwudhu. Adapun dalam mazhab al-Imam Ahmad, jika seseorang menyentuh kemaluan orang lain, dia juga berwudhu. Hal ini berdasarkan hadits Busrah bintu Shafwan yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad,
وَيَتَوَضَّأُ مَنْ مَسَّ الذَّكَرَ
…dan berwudhu orang yang menyentuh kemaluan.
Mereka berpendapat bahwa hal ini mencakup kemaluannya sendiri dan kemaluan orang lain. Akan tetapi, hadits Busrah bintu Shafwan adalah satu hadits dengan dua lafadz. Lafadz yang pertama, yaitu مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ (barang siapa menyentuhkemaluannya) adalah lafadz yang muqayyad (terikat). Adapun lafadz kedua, yaitu وَيَتَوَضَّأُ مَنْ مَسَّ الذَّكَرَ (dan berwudhu orang yang menyentuh kemaluan), adalah lafadz yang mutlak (tidak terikat). Lafadz yang mutlak hendaknya dibawa kepada yang muqayyad karena hadits ini satu dengan dua lafadz.
Atas dasar ini, perempuan yang memandikan anaknya lalu menyentuh kemaluan si anak, dia tidak perlu berwudhu. Lelaki yang menyentuh kemaluan anaknya juga tidak perlu berwudhu. Saya berpendapat demikian. Akan tetapi, untuk saya pribadi, saya akan berwudhu. Hanya saja, larangan ini lit tanzih (menunjukkan hukum makruh). Ini termasuk bab mustahab dan kehati-hatian.
Adapun tentang masa nifas, al-Imam Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa masa nifas yang paling lama adalah 40 hari, menurut asy-Syafi’i 60 hari, sedangkan menurut al-Hasan al-Bashri 50 hari. Akan tetapi, diriwayatkan oleh Ash-habus Sunan selain an-Nasa’i, dari Ummu Salamah j, dia berkata, “Dahulu pada zaman Nabi, wanita yang nifas berdiam selama 40 hari, yakni tidak shalat. Dahulu kami membaluri wajah kami dengan lulur dari tetumbuhan.” Hadits ini sanadnyashahih li ghairihi. Hadits ini shahih karena memiliki syawahid (penguat), yaitu hadits Anas dan yang selainnya.
Jadi, kita katakan bahwa batas maksimal nifas bagi perempuan adalah 40 hari. Apabila darah terus keluar setelah hari ke-40, dia mandi, kemudian berwudhu setiap kali hendak shalat. Dia tidak perlu memedulikan darah yang keluar setelah hari ke-40 karena itu adalah darah istihadhah.
Apabila dia melihat bahwa dirinya telah bersih sebelum hari ke-40, misalnya setelah hari ke-20, dia mandi dan shalat. Jika darah keluar lagi lima hari kemudian (yakni pada hari ke-25), padahal dia telah mandi, shalat, dan berpuasa Ramadhan, berarti dia masih dalam masa nifas. Shalat dan puasanya tidak sah sehingga dia harus mengqadha puasanya, tetapi tidak perlu mengqadha shalatnya.
(Lin NisaFaqath hlm. 15—17)
https://qonitah.com/fatwa-wanita-edisi-08/
BELAJAR MANHAJ SALAF (channel telegram & whatsapp)
Situs kami :