.

.
Bismillah ..., Kami Ingin Berbagi Faedah Ilmu Syar'i, MENEBAR SUNNAH & Merajut Ukhuwah di Atas Manhaj Salaf Dalam Meniti Al Haq

SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH 4


SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [23]

Makna TAUHID AR-RUBUBIYYAH
Seorang hamba meyakini bahwa Allah adalah Rabb, Esa dalam menciptakan, memberi rizki, dan mengatur (seluruh makhluknya, pen). Yang mentarbiyah seluruh makhluk dengan berbagai kenikmatan, dan mentarbiyyah makhluk-makhluknya yang khusus – yaitu para nabi dan para pengikutnya – dengan aqidah shahihah, akhlak yang indah, ilmu yang bermanfaat, dan amal shalihah. Inilah tarbiyah yang bermanfaat untuk hati dan ruh, yang membuahkan kebahagiaan di dua negeri (di dunia dan di akhirat).
[ al-Qaul as-Sadid Syarh Kitab at-Tauhid, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dirahimahullah ]
Tauhid jenis ini diakui pula oleh kaum musyrikin arab yang Rasul diutus kepada, namun tidak memasukkan mereka ke dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kalau kamu tanya mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi, dan mengendalikan matahari dan bulan?’ Mereka pasti akan menjawab, “Allah”. (QS. Al-‘Ankabut : 61)
Rasulullah tetap memerangi mereka
serta menghalalkan darah dan harta mereka.
[ lihat al-Qawa’id al-Arba’ ]

SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [24]

Makna TAUHID AL-ULUHIYYAH atau TAUHID AL-‘IBADAH
Ilmu dan pengakuan bahwa Allah adalah yang memiliki hak uluhiyyah dan ‘ubudiyyah atas segenap makluk-Nya semuanya (yakni Allah yang berhak untuk diibadahi oleh seluruh makhluk-Nya, pen). Mengesakan Allah satu-satunya dengan semua bentuk peribadahan dan memurnikan agama (amal) hanya untuk Allah satu-satunya.
Tauhid ini mengharuskan adanya dua jenis tauhid sebelumnya dan mengandung dua jenis tauhid tersebut. Karena Uluhiyyah yang merupakan salah satu sifat-Nya, meliputi semua sifat-sifat kesempurnaan dan semua sifat-sifat Rububiyyah dan keagungan. Sesungguhnya Dia (Allah) adalah ma’luh dan ma’bud (yang berhak diibadahi), karena dia memiliki sifat-sifat keagungan dan kemuliaan, karena dia memberikan kebaikan kepada makhluk-makhluk-Nya berupa berbagai keutamaan. Jadi, keesaan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat kesempurnaan, bersendirian-Nya dalam Rububiyyah, MENGHARUSKAN bahwa TIDAK ADA SATUPUN YANG BERHAK UNTUK DIIBADAHI selain DIA.
Maksud tujuan dakwah para rasul, dari rasul pertama hingga rasul terakhir, adalah mendakwahkan Tauhid ini (yakni TAUHID AL-ULUHIYYAH, pen).
Maka semua Kitab Samawi, dan semua rasul, mengajak kepada Tauhid ini. serta melarang dari lawannya, yaitu syirik dan penyekutuan. Terutama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan al-Qur’an al-Karim ini. Sesungguhnya beliau memerintahkan Tauhid tersebut, mewajibkannya, menegaskannya dengan sebenar-benarnya, menjelaskannya dengan penjelasan yang sangat besar. Memberitakan bahwa tidak ada keselamatan, tidak ada kesuksesan, dan tidak ada kebahagiaan kecuali dengan tauhid ini. Bahwa seluruh dalil aqliyyah dan naqliyyah, bukti-bukti yang ada di alam ini dan bukti-bukti yang ada dalam diri manusia, merupakan bukti dan argumentasi atas perintah dengan tauhid ini dan kewajibannya.
Tauhid merupakan Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh hamba. Tauhid merupakan perintah agama yang terbesar, prinsip segala prinsip, dan dasar semua amal.
[ al-Qaul as-Sadid Syarh Kitab at-Tauhid, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dirahimahullah ]
▪Asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
Tauhid al-Uluhiyyah, adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ibadah.
Yaitu dengan beribadah kepada-Nya satu-satunya, tidak beribadah kepada selain-Nya, baik itu malaikat, rasul, nabi, wali, pohon, batu, matahari, bulan, dan lainnya, siapapun dia. …
Tauhid inilah yang DIINGKARI OLEH KAUM MUSYRIKIN yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada mereka. Sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya mereka, apabila disampaikan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, mereka menyombongkan diri. Seraya mengatakan, akankah kami meninggalkan sesembahan-sesembahan kami gara-gara seorang penyair yang gila.” (ash-Shaffat : 35-36)
Karena mereka mengingkari Tauhid ini, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammemerangi mereka dan menghalalkan darah dan harta mereka … dan pengakuan mereka (kaum musyrikin) terhadap Tauhid Rububiyyah tidaklah mengeluarkan mereka dari kesyirikan, bukan pula penjamin atas keselamatan darah dan harta mereka.”
[ Taqrib at-Tadmuriyyah ]

SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [25]

PENTINGNYA AQIDAH TAUHID
Sesungguhnya Aqidah Tauhid adalah asas (dasar) agama. Semua perintah dan larangan, peribadatan dan ketaatan, semuanya didirikan di atas Aqidah Tauhid, yang merupakan makna Syahadah “Laa ilaaha illallah” dan “Muhammad Rasulullah”. Dua Kalimat Syahadat, yang keduanya merupakan rukun Islam yang pertama.
TIDAK AKAN SAH SEBUAH AMALAN, tidak akan diterima sebuah Ibadah, dan seseorang tidak akan bisa selamat dari neraka dan masuk jannah (surga), kecuali apabila MENDATANGKAN TAUHID INI, dan MELURUSKAN AQIDAH.
Oleh karena itu, perhatian para ‘ulama rahimahumullah terhadap permasalahan ini (Aqidah Tauhid) SANGAT BESAR. Itulah (Tauhid) yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya …
Kemudian setelah lurus aqidahnya, maka ketika itu seseorang dituntut untuk mendatangkan amal-amal lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhubeliau bersabda,
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahlul Kitab. Maka JADIKANLAH DAKWAH PERTAMA YANG KAMU SERU MEREKA KEPADANYA adalah SYAHADAT ‘Laa ilaaha illallah’ dan ‘Muhammad Rasulullah’. Apabila mereka sudah mentaatimu dalam hal itu, berikutnya ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Perhatikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Maka JADIKANLAH DAKWAH PERTAMA YANG KAMU SERU MEREKA KEPADANYA adalah SYAHADAT ‘Laa ilaaha illallah’ dan ‘Muhammad Rasulullah. “
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sampai mereka mengatakan, ‘Laa ilaaha illallah’. Apabila mereka mau mengatakan kalimat tersebut, maka terjaminlah darah dan harta mereka, kecuali dengan haknya. Sedangkan hisab mereka ada di sisi Allah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ini menunjukan bahwa Aqidah Tauhid merupakan asas (dasar) yang wajib diberikan perhatian terhadapnya pertama kali sebelum segala sesuatu. Kemudian apabila sudah terwujud, maka perhatikan perkara-perkara agama lainnya dan perkara-perkara ibadah.”
[ asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah, dari Muqaddimah Kitab I’anatu al-Mustafid bi syarh Kitab at-Tauhid, hal. 18 (dengan sedikit perubahan) ]

SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [26]

SALAF BENAR-BENAR MEMANFAATKAN WAKTU UNTUK ILMU
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia terlalaikan padanya : KESEHATAN dan WAKTU LUANG.” (HR. al-Bukhari 6049)
 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Manfaatkanlah lima hal, sebelum kedatangan lima hal yang lainnya: Masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, dan masa hidupmu sebelum kematianmu.” (HR. al-Hakim 4/306)
Al-Mu’afa bin Zakariyya rahimahullah meriwayatkan dari sebagian para murid al-Imam Abu Ja’far ath-Thabari rahimahullah, yang saat itu berada di sisi Abu Ja’far ath-Thabari sesaat sebelum wafatnya. Ketika itu disebutkan (diperbincangkan/dibahasa) di hadapan beliau permasalahan do’a dari Ja’far bin Muhammad.
al-Imam Abu Ja’far (yang saat itu sedang dalam kondisi detik-detik menjelang kematiannya, pen) meminta diambilkan tinta dan kertas, supaya beliau bisa menulisnya (faidah ilmu tersebut).
Maka yang lainnya keheranan seraya mengatakan, “Apakah juga dalam kondisi seperti ini (yakni engkau masih mau menulis, pen)?
al-Imam Abu Ja’far ath-Thabari menjawab, “Semestinya seseorang tidak meninggalkan kesempatan untuk mengambil ilmu, sampai waktu kematiannya.”
[ lihat Tarikh Dimasyq 52/199 ]

SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [27]

AMALAN PALING UTAMA dan MULIA serta SANGAT PENTING
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata,  “Jika ath-Thaifah al-Manshurah ini bukan Ash-habul Hadits, maka aku tidak tahu lagi siapa mereka.”  Dalam riwayat lain : “Mereka adalah ahlul ‘ilmi dan ahlul atsar.” (lihat ash-Shahihah I/543)
Al-Imam az-Zuhri rahimahullah mengatakan, “Dulu generasi yang telah lalu dari kalangan para ‘ulama mengatakan, ‘Berpegang Teguh dengan as-Sunnah adalah KESELAMATAN.” (al-Laalikaa’i 15, 136, 137)
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan, “as-Sunnah itu laksana perahu Nabi Nuh. Barangsiapa menaikinya maka dia selamat, barangsiapa yang tidak menaikinya maka dia tenggelam.” (Tarikh Baghdad 7/336)
Al-Imam az-Zuhri rahimahullah juga berkata, “Tidaklah mencintai hadits kecuali para jantannya kaum pria, dan tidaklah membenci hadits kecuali para bancinya kaum pria.” (Syarafu Ash-habil Hadits 142)
Bisyr bin al-Harits al-Jafi rahimahullah berkata, “Aku tidak tahu di muka bumi suatu amalan yang lebih utama dibandingkan MENCARI ILMU DAN HADITS, bagi barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dan baik niatnya dalam amalan tersebut.” (Syarafu Ash-habil Hadits 162)
Muhammad bin Ahmad bin Abi ats-Tsalj menuturkan : Kakekku menyampaikan kepadaku, “Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu ‘Abdillah, mana yang lebih engkau sukai : seseorang itu menulis hadits, ataukah dia shalat dan berpuasa?
Beliau menjawab, “Menulis hadits.”
Aku tanya, “Dari mana Anda lebih mengutamakan menulis hadits dibandingkan shalat dan puasa?”
Ahmad bin Hanbal menjawab, “(Dengan menulis hadits, pen) supaya tidak ada yang mengatakan, ‘Aku melihat sebuah kaum melakukan sesuatu, maka aku pun mengikutinya.” (yakni dengan ilmu hadits, akan terwujud ittiba’ terhadap as-Sunnah dan akan terberantas sikap taqlid dan bid’ah, pen).
[Syarafu Ash-habil Hadits 171 ]
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah berkata kepada al-Hasan bin Tsawab : “Aku tidak mengetahui manusia benar-benar sangat butuh untuk mencari hadits dibandingkan pada zaman ini.”
Aku (al-Hasan bin Tsawab) bertanya, “Kenapa?”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Telah muncul berbagai bid’ah. Barangsiapa yang tidak memiliki bekal hadits, maka dia akan terjatuh dalam kebid’ahan-kebid’ahan tersebut.” (al-Ashbahani dalam at-Targhib wa at-Tarhib, 490)
Al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah juga berkata, “Mencari hadits pada zaman ini lebih utama dari segala macam ibadah tathawwu’. Karena banyak sunnah yang hilang dan tidak dikenal, sebaliknya telah bermunculan berbagai kebid’ahan dan para pengusungnya banyak berkuasa.” [Syarafu Ash-habil Hadits 171 ]
Apabila demikian kondisinya pada zaman al-Imam Ahmad bin Hanbal dan al-Khathib al-Baghdadi, maka bagaimana dengan zaman kita sekarang??!

SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [27]

DAKWAH PARA NABI :
Mendakwahkan Tauhid, ataukah Memperjuangan Tegaknya Daulah?
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata,
Dengan kemampuanku yang lemah ini, aku telah menulis sebuah kitab berjudul :
(Manhajul Anbiya fi ad-Da’wah ila Allah fihi al-Hikmah wa al-‘Aql)
Jika kalian mau, silakan merujuk padanya dan mengambil faidah darinya.
Pada kitab tersebut, aku menjelaskan tentang Dakwah para Nabi – ‘alaihim ash-shalatu wa as-Salam – bahwa itu adalah jalan yang Allah gariskan, tidak boleh menyimpang darinya, baik ke kanan  maupun ke kiri. Menyimpang dari manhaj para nabi dalam dakwah ke jalan Allah merupakan PENYIMPANGAN dan PENYELEWENGAN kepada KESESATAN danKEBINASAAN.  Karena manhaj tersebut diletakkan dan digariskan oleh Allah – Tabaraka wa Ta’ala – untuk para Nabi sejak rasul pertama, Nuh ‘alahi as-salam, hingga penutup para rasul yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul pun, kecuali pasti Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Aku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (QS. Al-Anbiya : 25)
Ayat ini mengisahkan kepada kita, bagaimana permulaan dakwah para Nabi – ‘alaihim ash-shalatu wa as-Salam – dan apa intisari dakwah mereka.
Aku tegaskan dalam kitab tersebut, KEWAJIBAN UNTUK KONSISTEN TERHADAP MANHAJtersebut berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah, serta fithrah dan akal. Bahwa DAKWAH YANG TIDAK DIMULAI DENGAN TAUHID, TIDAK BERTOLAK DARI TAUHID, MAKA DAKWAH TERSEBUT TELAH MENYIMPANG DARI MANHAJ ALLAH, dan memilih JALAN-JALAN KESESATAN dan HAWA NAFSU. Serta mengajak para mad’u untuk menyeleweng dari jalan Allah yang lurus.
Setiap (kelompok-kelompok) dakwah yang ada sekarang ini di muka bumi, apabila menggariskan sebuah jalan/prinsip untuk dirinya dalam berdakwah ke jalan Allah selain jalan/prinsip yang digariskan oleh Allah untuk para nabi dan rasul-Nya, konsisten dan melaksanakan prinsip tersebut, mereka (kelompok dakwah itu) akan SESAT.
Sebagaimana firman Allah, “Siapakah yang membenci millah Ibrahim, kecuali orang-orang yang membodohi dirinya sendiri.” (QS. Al-Baqarah : 130)
APAKAH ITU MILLAH IBRAHIM?
Millah Ibrahim adalah TAUHID dan DAKWAH KEPADANYA.  Nabi Ibrahim memulai dengan Dakwah kepada Tauhid, bertahan kokoh di medan tersebut, beliu memerangi karib kerabat maupun yang bukan. Beradu argument dan menegakkan hujjah kepada mereka. Kemudian setelah itu, ketika tidak bisa diharapkan lagi adanya sambutan dari mereka (terhadap dakwah tauhid yang beliau tegakkan), maka beliau mendatangi berhala-berhala mereka lalu beliau hancurkan. Maka mereka pun murka dan marah demi membela berhala-berhal mereka.  tidak ada yang bisa mengobati kemarahan mereka, kecuali dengan cara melemparkan Ibrahim ke dalam api. Namun Allah selamatkan Nabi Ibrahim, yaitu api menjadi dingin dan keselamatan bagi Ibrahim. Sebaliknya, Allah jadikan mereka rendah dan terhina.
Demikian pula Nabi Nuh sebelumnya. Beliau berdakwah kepada Tauhidullah selama seribu tahun kurang lima puluh.
Ketika kamu datang ke sebuah negeri yang terdapat berbagai khurafat, bid’ah, dan syirik, serta kesesatan-kesesatan; apakah kita akan mengatakan kepada mereka : KEMARILAH, KITA MENEGAKKAH DAULAH. Ataukah kita akan katakan, KITA MEMULAI DENGAN PEMBENAHAN AQIDAH MEREKA, BAIK PIMPINAN MAUPUN RAKYATNYA?
Adapun jalan yang digariskan oleh Allah adalah DIMULAI DENGAN PEMBENAHAN AQIDAH SANG PIMPINAN. Yaitu dengan engkau sampaikan kepadanya bahwa :
Allah adalah Rabbnya
hendaklah dia beribadah kepada Allah
memurnikan segala amal hanya untuk-Nya
Apabila dia telah baik, dan memperbaiki kondisi rakyatnya lalu rakyatnya mau menyambut, maka mereka akan masuk ke dalam Islam secara menyeluruh. Dan mereka akan benar-benar siap untuk merealisasikan Hakimiyyatullah (Allah satu-satu yang berhak menetapkan hukum).
Namun apabila mereka menolak dakwah tersebut, mereka juga akan menolak Hakimiyyah, dan mereka tidak akan mau menerima dakwahmu.
Maka, merupakan sikap dungu dan merendahkan para nabi dan manhaj mereka, adalah engkau menginginkan Hakimiyyah dengan cara menempuh hal-hal tersebut, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok dakwah, yaitu ada yang melakukan cara-cara Shufiyyah, atau ada pula yang melakukan cara-cara politik, serta meninggalkan Dakwah Para Nabi – ‘alaihim ash-shalatu wa as-Salam – .
Hasilnya : Kehancuran dan kerugian di dunia dan akhirat. Karena dakwah tersebut tidak tegak di atas manhaj para nabi. Namun tegak di atas prinsip-prinsip yang rusak, dan tegak di atas hawa nafsu. Karena mereka kalau bukan karena kepentingan hawa nafsu dan ambisi pribadi niscaya mereka tidak akan berani melangkahi dakwah para nabi yang semestinya mereka laksanakan dan terapkan.
(Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Rabi’ I/26-28)

SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [28]

HUKUM PENAMAAN “AS-SALAFY” atau “AL-ATSARI”
asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah
Pertanyaan : “Bagaimana pendapat Anda dengan orang menamakan diri “as-Salafy” atau “al-Atsary”, apakah ini termasuk tazkiyyah (merekomendasi diri)? “
Jawab :
“Jika dia benar/jujur bahwa dia memang “atsary” (seorang yang senantiasa mengikuti atsar/jejak salaf), atau “salafy” (seorang yang konsisten di atas Manhaj Salaf), maka iniTIDAK MENGAPA.
Sebagaimana dulu dikatakan oleh para ulama Salaf : “Fulan Salafy”, atau “Fulan Atsary”
Ini merupakan tazkiyyah (rekomendasi) yang HARUS diberikan (apabila kenyataannya memang demikian, pen)
Ini adalah Tazkiyyah yang WAJIB.”
dari Muhadharah berjudul “Haq al-Muslim” pada 16/1/1413 H, di Thaif.
SELESAI
Manhajul Anbiya