.

.
Bismillah ..., Kami Ingin Berbagi Faedah Ilmu Syar'i, MENEBAR SUNNAH & Merajut Ukhuwah di Atas Manhaj Salaf Dalam Meniti Al Haq

Tata Cara Mandi Haid


Al-Ustadzah Ummu Muhammad
Telah lewat bahasan tentang haid dan keadaan-keadaannya. Kali ini kami ketengahkan hukum-hukum yang berkaitan dengan haid.
MANDI HAID
Hukum Mandi Haid
Hukum mandi setelah berhentinya/terputusnya haid adalah wajib, berdasarkan:
  1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala
وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, ‘Haid adalah sesuatu yang kotor. Oleh karena itu, jauhilah istri pada waktu haid, dan jangan kalian dekati mereka sampai mereka suci. Apabila mereka telah suci, datangilah mereka sesuai dengan ketentuan yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (alBaqarah: 222)
  1. Hadits dari Fathimah bintu Abi Hubaisy radhiyallahu ‘anha. Beliau pernah mengalami istihadhah kemudian bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَتْ بِالْحَيْضَةِ. فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ
“Hal tersebut (darah yang keluar) adalah dari urat (yang terputus), bukan darah haid. Apabila datang haid, tinggalkanlah shalat, dan apabila haid telah selesai, mandilah dan shalatlah.” (HR. alBukhari no. 320 dan Muslim no. 334)
An-Nawawi menyatakan dalam alMajmu’ (1/168), “Para ulama telah sepakat tentang wajibnya mandi dengan sebab haid.”
Hal-hal yang Berkaitan dengan Mandi Haid
  • Melepas ikatan rambut saat mandi haid.
Tentang melepas ikatan rambut saat mandi setelah suci dari haid, terdapat tiga pendapat para ulama.
Pendapat pertama, wajib melepas ikatan rambut ketika mandi haid. Sebab, mandi haid tidak dilakukan berulang-ulang sehingga tidak mendatangkan kesulitan apabila ikatan rambut harus dilepas.
Yang berpegang pada pendapat ini berargumen dengan:
  1. Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
“…maka aku mendapati Hari ‘Arafah dalam keadaan masih haid. Aku pun mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, maka beliau bersabda,
دَعِيْ عُمْرَتَكِ وَانْقُضِيْ رَأْسَكِ وَامْتَشِطِيْ وأَهِلِّيْ. فَفَعَلْتُ
‘Tinggalkanlah umrahmu, (mandilah) dan lepaslah ikatan rambutmu, bersisirlah, dan bertalbiahlah untuk haji.
Aku pun melakukannya.” (HR. alBukhari no. 317 dan Muslim no. 1211)
  1. Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan bahwa Asma’ radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tentang tata cara mandi suci dari haid. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalambersabda,
تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ، فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا، حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا
“Hendaknya salah seorang dari kalian mengambil air dan sidr-nya (untuk mandi), lalu bersuci dengan sebaik-baiknya, menuangkan air ke atas kepalanya, lalu menggosokgosok kepalanya dengan kuat hingga mencapai pangkal rambutnya …. (HR. Muslim no. 478)
Pendapat ini dipegang oleh al-Hasan, Thawus, an-Nakha’i, al-Imam Ahmad, dan al-Imam Malik. Ini juga merupakan pendapat al-Imam al-Albani dalam kitab beliau, Tamamul Minnah fi at-Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hlm. 125. Beliau berkata, “Hadits ini menunjukkan dengan jelas perbedaan antara mandi seorang wanita ketika suci dari haid dan mandinya ketika bersuci dari janabah. Ketika mandi haid, si wanita harus menggosok-gosok kepalanya dengan kuat sehingga air mencapai pangkal rambut, dan bersungguh-sungguh dalam bersuci. Hyang hal seperti ini tidak ditekankan pada waktu mandi janabah.
Hadits Ummu Salamah yang telah disebutkan dalam kitab ini merupakan dalil tidak wajibnya melepaskan ikatan rambut saat mandi janabah. Inilah yang dimaksud dalam hadits ‘Ubaid bin ‘Umair dari ‘Aisyah disebabkan mandinya ‘Aisyah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam (merupakan mandi janabah).
Oleh karena itu, tidak ada pertentangan di antara hadits-hadits tersebut berdasarkan perincian ini: pada saat mandi haid, wajib melepas ikatan rambut, sedangkan ketika mandi janabah, tidak wajib. Di antara yang berpendapat dengan perincian ini adalah al-Imam Ahmad. Pendapat ini dinyatakan benar oleh Ibnul Qayyim dalam Tahdzib asSunan (1/165—168). Ini juga pendapat Ibnu Hazm dalam alMuhalla (2/37—40).”
Pendapat kedua, tidak wajib melepas ikatan rambut, baik saat mandi janabah maupun saat mandi haid, tetapi cukup menuangkan air ke kepala tiga kali.
Disebutkan dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Rasulullah ,
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِيْ، أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟-وَفِيْ رِوَايَةٍ: الْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ؟- قَالَ: لَا، إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيْ عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ، ثُمَّ تُفِيضِيْنَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِيْنَ
“Wahai Rasulullah, saya adalah wanita yang menjalin rambut dengan kuat. Apakah saya harus melepaskan jalinan tersebut ketika mandi janabah?” (Dalam riwayat lain“Saat mandi haid dan janabah?”) Rasulullah menjawab, ‘Tidak perlu. Cukup bagimu menuangkan (air) ke kepala tiga kalilalu menyiramkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamu pun suci’. (HR. Muslim 3/236 no. 742—743)
Pendapat ketiga, melepas ikatan rambut saat mandi haid hukumnya sunnah (mustahab), tidak wajib. Pendapat ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Mereka berpendapat demikian berdasarkan sebagian riwayat hadits Ummu Salamah yang menyebutkan haid dan janabah.
Namun, kata al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, yang shahih dalam hadits Ummu Salamah hanyalah penyebutan janabah, tanpa penyebutan haid. Adapun melepas ikatan rambut untuk wanita yang mandi haid, tidak ada riwayat yang mahfuzh.
Al-Imam al-Albani berkata bahwa riwayatnya syadz.
Dari ketiga pendapat ini, penulis condong pada pendapat yang menyatakan wajibnya melepaskan ikatan rambut saat mandi suci dari haid. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam memerintah ‘Aisyah untuk melepaskan ikatan rambutnya saat mandi untuk ihram, maka saat mandi haid, hal ini lebih ditekankan. Selain itu, dalam hadits dari ‘Aisyah juga disebutkan agar ketika mandi haid, seorang wanita menggosok-gosok kepalanya dengan kuat sehingga air sampai ke kulit kepala.Wallahu a’lam.
  1. Disunnahkan menggunakan kapas/kain yang telah diberi misk pada ‘tempat’ yang terkena darah haid.[1]
Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata,
سَأَلَتِ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ تَغْتَسِلُ مِنْ حَيْضَتِهَا. قَالَ: فَذَكَرَتْ أَنَّهُ عَلَّمَهَا كَيْفَ تَغْتَسِلُ، ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ، فَتَطَهَّرُ بِهَا. قَالَتْ: كَيْفَ أَتَطَهَّرُ بِهَا؟ قَالَ: تَطَهَّرِيْ بِهَا، سُبْحَانَ اللهِ. وَاسْتَتَرَ (وَأَشَارَ لَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ بِيَدِهِ عَلَى وَجْهِهِ) قَالَ: قَالَتْ عَائِشَةُ: وَاجْتَذَبْتُهَا إِلَيَّ، وَعَرَفْتُ مَا أَرَادَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: تَتَبَّعِيْ بِهَا أَثَرَ الدَّمِ
Seorang wanita bertanya kepada Nabi tentang tata cara mandi suci dari haid.”
Sufyan bin ‘Uyainah, salah satu periwayat hadits ini, berkata, “’Aisyah pun menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam mengajari wanita tersebut tata cara mandi haid, kemudian hendaknya wanita tersebut mengambil kapas/kain yang telah diberi misk, lalu bersuci dengannya. Wanita tersebut bertanya, Bagaimana saya bersuci dengannya? Nabi menjawab, Bersucilah engkau dengannya, Subhanallah! Nabi menutupi wajah beliau dengan tangan.”
Sufyan bin ‘Uyainah memperagakannya kapada kami, yaitu dengan menutupkan tangannya ke wajahnya. Setelah itu, Sufyan berkata, “’Aisyah pun berkata, ‘Kudekatkan wanita itu kepadaku. Aku tahu apa yang dimaksudkan oleh Nabi, maka kukatakan kepadanya agar mengikuti bekas darah dengan kapas/kain tersebut’.” (HR. alBukhari no. 314, 315, 7357 dan Muslim no. 332)
An-Nawawi, dalam alMinhaj Syarh Shahih Muslim 3/23, berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang hikmah penggunaan misk. Pendapat yang benar, yang dipilih, dan yang merupakan pendapat mayoritas teman kami (para ulama bermazhab Syafi’i, -ed.) dan selain mereka ialah bahwa misk tersebut digunakan untuk mengharumkan bagian yang terkena darah haid (farji dan sekitarnya, –pent.) dan menghilangkan bau yang tidak sedap.”
Beliau juga berkata, “Hal itu disunnahkan bagi wanita ketika mandi suci dari haid atau nifas, baik bagi wanita yang sudah bersuami maupun yang belum bersuami. Dia melakukannya setelah mandi. Apabila tidak mendapatkan misk, dia bisa menggunakan minyak wangi lain yang dia dapatkan, atau yang selainnya yang dapat menghilangkan bau tidak enak. Apabila dia tidak mendapatkan sesuatu yang dapat menghilangkan bau tidak enak tersebut, air telah cukup baginya. Akan tetapi, apabila dia tidak menggunakan wewangian padahal bisa melakukannya, hukumnya makruh. Apabila hal itu tidak memungkinkan, tidak mengapa.”
Tata Cara Mandi Suci dari Haid
Tata cara mandi suci dari haid sama dengan tata cara mandi janabah yang telah diuraikan dalam rubrik ini pada edisi 12. Akan tetapi, ada beberapa tambahan, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Kata ‘Aisyah,
أَنَّ أَسْمَاءَ سَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ غُسْلِ الْمَحِيْضِ، فَقَالَ: تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا، فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُوْرَ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا، فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا، حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ، ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا. فَقَالَتْ أَسْمَاءُ: وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، تَطَهَّرِينَ بِهَا. فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ: تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ
“Asma’[2] bertanya kepada Nabi tentang mandi haid, maka Nabi menjawab, ‘Salah seorang dari kalian mengambil air mandi dan sidr[3], lalu bersuci sebaik-baiknya. Kemudian, dia menuangkan air ke kepalanya dan menggosok-gosok kepalanya dengan kuat hingga mencapai pangkal rambutnya, lalu menuangkan air ke seluruh tubuhnya. Setelah itu, diamengambil kapas/kain yang telah diberi misk, lalu bersuci dengannya’.
Asma’ bertanya lagi, ‘Bagaimana dia bersuci dengannya?
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam pun menjawab, SubhanallahBersucilah dengannya.”
‘Aisyah berkata seolah-olah berbisik sehingga hanya terdengar oleh Asma’, “Ikutilah bekas darah haid dengan kapas/kain itu.” (HR. Muslim no. 332, asalnya dalam alBukhari no. 314, 315, 7357)
Dalam hadits ‘Aisyah di atas ada tambahan untuk tata cara mandi suci dari haid, yaitu mempersiapkan air untuk mandi, beserta sidr atau sabun dan yang semisalnya; menggosok-gosok kulit kepala dengan kuat agar air mencapai pangkal rambut, dan menggunakan kapas/kain yang telah diberi misk/wewangian untuk mengusap bagian kemaluan dan sekitarnya yang terkena darah haid.
Secara ringkas, tata cara mandi suci dari haid adalah:
  • Mencuci kedua tangan.
  • Mencuci kemaluan kemudian mengusapkan tangan ke debu atau mencucinya dengan sabun.
  • Berwudhu dengan sebaik-baiknya, yakni dengan menyempurnakan tata caranya.
  • Menuangkan air ke atas kepala, lalu menggosok-gosok kepala dengan kuat sehingga air mencapai seluruh kulit kepala. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurai rambut atau melepas ikatan rambut.
  • Menuangkan air ke seluruh tubuh.
  • Selesai mandi, mengambil kapas/kain yang telah diberi misk atau wewangian lainnya untuk mengusap bagian kemaluan dan sekitarnya.
Faedah Hadits ‘Aisyah
Dalam hadits ‘Aisyah di atas ada beberapa faedah yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Bari 1/416, sebagai berikut.
  1. Bertasbih (mengucapkan subhanallah) ketika takjub atau kagum terhadap sesuatu.
Maknanya dalam hadits ini, bagaimana mungkin perkara yang telah jelas ini, yang tidak membutuhkan pemikiran/penjelasan dalam memahaminya, bisa tersembunyi/tidak diketahui.[4]
  1. Disunnahkan menggunakan kinayah (kata kiasan) pada perkara yang berkaitan dengan aurat.
  2. Pertanyaan seorang wanita kepada seorang alim (yang berilmu) tentang urusan yang biasanya orang malu bertanya tentangnya.
  3. Mencukupkan diri dengan menggunakan kata kiasan dan isyarat dalam urusan yang dipandang tabu.
  4. Mengulangi jawaban agar si penanya paham.
  5. Bolehnya seseorang menjelaskan ucapan orang alim (yang berilmu/yang ditanya) kepada si penanya di hadapan sang alim tersebut, apabila diketahui bahwa sang alim heran karena si penanya tidak memahami jawaban/ucapannya.
  6. Sepantasnya seorang wanita menutupi aibnya meskipun kepada suaminya, walau aib tersebut merupakan tabiat yang diciptakan pada wanita. Oleh karenanya, wanita dibimbing untuk menggunakan wewangian untuk menghilangkan bau yang tidak enak. Dengan demikian, suaminya tidak mencium bau yang tidak sedap dari darah haidnya.
  7. Hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita mengajari wanita lainnya dalam urusan yang menimbulkan rasa malu jika disebutkan di hadapan pria. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam berkata kepada wanita yang bertanya, “Bersucilah dengannya.” Namun, sang penanya kembali bertanya dan meminta penjelasan. Nabi pun berkata karena heran, “Subhanallah! Bersucilah dengannya. Melihat hal itu, ‘Aisyah pun menarik wanita tersebut agar mendekat kepadanya, kemudian memberitahukan apa yang Rasulullah malu menyebutkannya.
  8. Berlemah lembut kepada penanya (yang diajari) dan memberikan uzur kepada orang yang tidak paham.
  9. Hadits ini menunjukkan bagusnya akhlak Nabi, besarnya kelemahlembutan beliau, dan tingginya rasa malu beliau.
Wallahu a’lam, wal ‘ilmu ‘indallah.
[1] Yaitu daerah farji dan sekitarnya.
[2] Menurut pendapat yang masyhur, wanita yang bertanya tersebut bernama Asma’ bintu Syakal. Demikian kata al-Imam an-Nawawi (al-Minhaj 3/241). Namun, menurut al-Khathib al-Baghdadi—dalam kitabnya, al-Asma’ al-Mubhamah—dan ulama yang lain, si penanya adalah Asma’ bintu Yazid bin as-Sakan yang digelari Khathibah an-Nisa’ (Juru Bicara Kaum Wanita).
[3] Dalam bahasa kita disebut daun bidara, berfungsi sebagai pembersih seperti sabun.
[4] Maksudnya, digunakannya kapas/kain yang telah diberi misk/wewangian itu untuk diusapkan ke farji dan sekitarnya yang telah terkena darah haid sudah jelas, tidak membutuhkan penjelasan lagi, pent.
http://qonitah.com/tata-cara-mandi-haid/